Bertemu Marni


PANRITA KITTA' -
Hari sudah menjemput senja, rona merah dari ufuk barat, berpendar di sela gedung-gedung kelas yang berdiri kokoh dalam hening. Sore ini, tinggal kami yang beraktivitas. Halaman sekolah sudah lengang sedari tadi, suara tarhim lamat-lamat terdengar dari masjid Ar Rahmah di kampung belakang sekolah, sebentar lagi magrib.

Ruang tempat kami beraktivitas, kian temaram. Lampu yang dinyalakan sejak tadi tak mampu menerangi laboratorium komputer dengan sempurna. Bukan hanya karena mentari yang mulai menjauh di cakrawala, tetapi karena semua bingkai jendela tertutup dengan kain gorden bernada hijau lumut. Monitor komputer yang ada disetiap meja, tak lepas dari dekapan kain penutup hijau lumut.

Peserta Workshop Penulisan Cerpen yang dihelat oleh Literacy Club (LC) masih berlangsung seru, peserta masih bergelut dengan bakal ceritanya masing-masing.
"Kak, aku kesulitan memulai konfliknya, apakah dengan dialog atau deskripsi?" Tanya Tasya yang kepalanya tiba-tiba menyembul dari balik monitor komputer di barisan kursi kedua.
"Apakah memang harus ada konflik? Saya memilih bercerita apa adanya, mengalir saja." Imbuh Radit, hanya suaranya yang terdengar dari sudut kanan belakang.

Narasumber menanggapi komentar peserta dengan telaten. Aku hanya menyimak seperlunya. Pikiranku lebih fokus pada ceritaku tentang ayam adikku yang mati dilindas truk pekan lalu. Keheningan membantuku memilih diksi yang lebih terasa pilu. Selain ditingkahi suara peserta yang mencoba bertanya, selebihnya dibekap sepi. 

Sekilas, suasana mengingatkanku saat mendaki ke Lembah Lohe bersama komunitas Siswa Pecinta Alam (Sispala) sekolahku. Saat itu, selepas asar, kita melintasi hutan dengan vegetasi yang padat pohon berdahan rendah. Bongkah-bongkah batu gunung tersebut di sela-sela pokok kayu. Semua tersaput lumut tebal. Kami menyusur lautan lumut, seperti menjelajah di hutan dalam film serial The Lord of The Rings, atau The Chronicles of Narnia.

Rombongan kami mulai merenggang, maklum pendaki pemula. Langkah terasa berat, mereka yang kelelahan memilih istirahat sejenak, sebagian lagi terus melaju. Aku memilih menunggu mereka yang istirahat, sambil mengambil jalan ke samping, menikmati suasana hutan yang terasa eksotis. Sekalian mencari posisi yang pas untuk buang air kecil, kantung kemih terasa sudah sesak.

Usai menuntaskan hajat, aku mencoba kembali ke jalur pendakian. Langkah terasa lebih mantap, setelah bersitirahat beberapa jenak. Setelah yakin telah berada di jalur pendakian yang benar, kuperbaiki posisi daypack di punggung. Tampaknya teman yang lain telah lebih dulu beranjak mendaki tanjakan terakhir sebelum nanti akan mulai menurun menuju lembah.

Setelah berjalan sekira setengah jam, dengan bantuan trekking pole, akhirnya jalan telah mulai menurun. Meski belum berhasil menyusul dan bertemu romongan, hati tetap semringah, karena jalan yang menurun berarti Lebah Lohe tak lagi jauh. Tingkat kepadatan pohon juga telah merenggang, dari jauh terdengar suara gemericik air di sungai kecil yang membelah lembah.

Saking senangnya, aku berlari menuju lembah, di sana telah berdiri tujuh tenda dengan kapasitas dua orang. Dengan semangat, aku lemparkan trekking pole dan daypack, lalu melompat ke tengah-tengah tenda, lalu berguling di rerumputan yang lembab. Adrenalinku meledak-ledak, memicu badai serotonim di otakku, saraf ketawaku tak berhenti berkontraksi.

Setelah puas, kucoba memanggil satu persatu nama teman anggota Sispala yang ikut pendakian ini, tapi tak ada yang menyahut. Pada ke mana mereka, apakah bermain air di kali kecil itu? Perlahan aku berdiri, memungut trekking pole dan daypack, lalu mendatangi tenda terdekat. Kusibak pintu tenda berwarna biru, tak ada sesiapa, kosong-melompong. Tenda berikutnya yang hijau, juga kosong. Semua kosong.

Aku terduduk di depan tenda ketiga yang berwarna oranye, semua sendi terasa lemas, trekking pole dan daypack terjatuh begitu saja. Nafas yang berat coba kutata, kuelus dada, kutenangkan hati, agar bisa berpikir jernih. Setelah agak tenang, aku berdiri, mengeluarkan pocket knife dari saku, perlahan memasuki tenda terdekat.

Di tenda merah marun, kulihat matras berwarna kelabu tergulung longggar, di beberapa bagian telah berlubang dan melapuk. Pas kuselisik, bahkan rumput mulai tumbuh di sela bagian matras yang robek. Tenda itu telah lama ditinggalkan, tapi entah kenapa dari luar tenda itu terlihat baru saja dipasang. Ini bukan perkemahan rombongannku.

Kutinggalkan tenda merah marun, wajahku langsung diterpa sinar mentari yang sudah meredup. Kulirik jam tanganku, sudah pukul 17.48, magrib menjelang. Kueratkan pegangan pada pocket knife, berbagai tanya berkecamuk. Ini perkemahan siapa? Mereka pada ke mana? Mengapa meninggalkan perkemahan? Sudah berapa lama mereka tak kembali?  

Kuintip tenda abu-abu, isinya tak jauh berbeda, bahkan di tenda ini lebih jelas. Ada mastras terhampar, di atasnya teronggok sehelai celana pendek selutut, kaus kaki tebal yang sisa sebelah, semuanya mulai berjamur. Juga ada keril di sudut, sudah berlubang sana-sini, mungkin habis dijarah tikus. Pembungkus makanan kering tercecer di mana-mana.  

Di tenda lain yang juga kosong dari manusia, ada yang cuma berisi hammock, ada yang memuat sleeping bag, ada yang berisi peralatan lengkap meski sudah terhambur keluar dari keril. Ada pula yang memang tak lagi berisi apa-apa, seperti tenda biru, tenda hijau, dan tenda oranye. Aaaaaaaaaa.... Aku teriak kencang hingga suaraku parau, tangan kananku gemetar memegang pisau lipat.

Tiba-tiba dari arah kali, bersama hembusan angin senja, sayup-sayup kudengar suara orang-orang tertawa riang, sepertinya mereka bermain air. "Akhirnya, aku tak sendiri," batinku. Hati-hati kulangkahkan kaki, takut menimbulkan suara langkah bila menginjak daun atau ranting kering. Gagang pisau lipat kugenggam lebih erat.    

Makin dekat ke kali, suara itu makin santer, suara-suara itu terdengar asing di telinga. Tanganku kian erat menggenggam gagang pisau, dadaku berdebar kencang, nafasku memburu. Aku terus mengendap-endap, seakan ingin menangkap basah pemilik suara itu. Peluh bercucuran, langkahku kian pelan, bahkan bernafas pun aku sangat pelan.

Begitu tiba di pinggir kali, aku terperangah. Tak ada sesiapa di sana. Suara-suara ceria dan tertawa ria tadi, juga menghilang. Yang ada hanya kesiur angin dari arah pegunungan. Aku menengok ke segala arah, mencari siapa saja yang ada. Mentari sudah di bibir horison, cahaya sudah temaram, dan suhu perlahan turun, menggigilkan bulu tengkuk.

Buk! Sebuah pukulan keras di tengkuk membuat kesadaranku menghilang. Tubuhku lunglai kehilangan tenaga, juga kesadaran. Pisau lipat di genggaman terjatuh di tanah basah, disusul tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tak ada suara, hanya gelap yang nampak. Tak tahu siapa yang telah memukulku hingga pingan.

"Rahmat.... Bangun, sudah malam. Saatnya pulang." Suara lembut menyelusup ke rongga telingaku, perlahan kuangkat kepala menatap ke arah sumber suara. Rupanya, aku ketiduran di atas meja, kepalaku hampir membentur monitor komputer saat kuangkat. Hari sudah gelap, hanya cahaya dari sela-sela gorden yang menerangi ruangan.

Kutatap ia yang membangunkanku, kami diantarai oleh tiga baris kursi dan meja berisi komputer. Wajahnya tak nampak, suasana sangat temaram. "Terima kasih telah membangunkanku."
"Pulanglah, temanmu sudah pulang semua."
"Kamu siapa? Kenapa belum pulang?"
"Aku Marni, petugas laboratorium. Aku memastikan semua siswa sudah pulang atau belum."
"Oh, baiklah. Kalau begitu saya pulang."
"Ia, pulanglah. Jangan tinggal lagi di laboratorium hingga malam."

Saat berjalan meninggalkan laboratorium menuju parkiran motor, aku bertemu dengan Pak Hendra, petugas keamanan sekolah sementara berjalan menyusuri koridor gedung belakang.
"Pak Hendra, tumben belum pulang."
"Ini sudah mau pulang, tapi masih ada motor di parkiran, jadi aku mencari pemiliknya."
"Oh, itu motor saya, Pak."
"Memangnya nak Rahmat dari mana?"
"Saya ketiduran di laboratorium komputer, Pak. Untung dibangunkan oleh Bu Marni, petugas laboratorium baru ya?"
"Marni siapa? Petugas laboratorium baru? Jangan-jangan kamu ketemu dia....." Suara Pak Hendra bergetar, kulihat mukanya pias.
"Dia siapa, Pak?"
"Bukan siapa-siapa, ayo segera pulang." Pak Hendra menggeber motornya. Aku ikut meninggalkan pelataran parkir dengan pertanyaan soal siapa Marni.

Malam, setelah menutup percakapan group Literacy Club (LC) di aplikasi whatsapp, aku membuka aplikasi catatan dan mulai mengetik. Ia ingin menyelesaikan tugasnya membuat cerpen. "Bertemu Marni" dia ketik di bagian judul. Tapi setelah itu dia kehabisan bahan untuk dituliskan. Ingatannya kembali ke laboratorium saat ia bertemu dan dibangunkan oleh perempuan yang mengaku bernama Marni itu. 

Aku mengingat kembali suaranya yang merdu saat membangunkanku. Jilbabnya rapi, berwarna putih bersih, roknya berwarna abu-abu, seperti rok siswa madrasah aliyah. Ya, sepertinya dia siswa juga, lalu mengapa aku baru melihatnya, dan kenapa Pak Hendra seperti tak mau melanjutkan cerita tentangnya?

Padahal, kalau kupikir-pikir, dia manis juga. Ada lesung imut di pipi kirinya. Mungkin saja dia siswa baru di madrasah kami. Mungkin saja Pak Hendra segan karena orang tua Marni punya pengaruh di sekolah. Besok harus aku tanyakan kemungkinan-kemungkinan ini ke Pak Hendra, dan mengecek statusnya di bagian akademik.

Apa sebaiknya aku menulis soal itu saja? Bahwa aku bertemu seorang perempuan bernama Marni, yang aku kira sebagai murid baru di sekolah, dia agak misterius, dan aku merasa bangga bisa mengenalnya lebih dulu di banding siswa lain di sekolah. Wah menarik kalau pengakuan seperti itu aku buat dalam cerpen. Pikiran ini membuatku senyum-senyum sendiri. 

Untuk memperkaya tulisan, aku membuka peramban dan mengetikkan kata kunci: Marni, madrasah, laboratorium komputer. Saat menunggu hasil pencarian, tiba-tiba suhu terasa menjadi lebih dingin dan bulu tengkukku merinding? Ah, aku ingat, saat membangunkanku, kaki Marni tak menjejak lantai. "Aaaaaa..... Takuuuuut!" Aku melompat ke tempat tidur, dan membungkus seluruh tubuhku dengan selimut. 

Telepon genggamku terlempar, dan mendarat di atas kasur tepat di sampingku. Belum sempat kulihat tampilan hasil pencariannya yang menampilkan beberapa informasi terkait. Di puncak pencarian, bertengger sebuah berita bertarikh 20 November 2005: Patah Hati, Marni Mengakhiri Hidupnya Di Lab. Komputer.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama